Latest News

Selasa, 29 Januari 2019

PERTUMBUHAN EKONOMI BANGKA BELITUNG DI BAWAH RATA-RATA NASIONAL


PERTUMBUHAN EKONOMI BANGKA BELITUNG DI BAWAH RATA-RATA NASIONAL


Jabar Segera Memiliki Dua Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru


Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung pada Triwulan II di 2018 masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,27 persen dan pertumbuhan ekonomi Sumatera sebesar 4,65 persen. Meski begitu, BI menilai daya tahan ekonomi Bangka Belitung di triwulan kedua ini masih cukup kuat dengan tumbuh 4,51 persen atau membaik dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu sebesar 2,46 persen.

"Dari sisi sektoral, percepatan pertumbuhan Babel terjadi pada sektor pertanian tumbuh 8,71 persen, sektor industri pengolahan 3,13 persen, sektor konstruksi 6,21 persen dan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib 9,89 persen. Hal ini mengindikasikan masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Babel yang didukung oleh kinerja sektor utama masih tumbuh cukup tinggi," ujar Kepala Tim BI Perwakilan Bangka Belitung Edhi Rahmanto Hidayat, Jumat, 10 Agustus 2018.

Edhi menuturkan pertumbuhan ekonomi Babel tanpa timah pada triwulan II 2018 tumbuh sebesar 6,55 persen, lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2018 yang tumbuh sebesar 5,23 persen. "Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi Babel tanpa timah dibandingkan pertumbuhan ekonomi dengan timah mengindikasikan peran atau kinerja komoditas timah, yakni sektor pertambangan, penggalian dan industri pengolahan di triwulan II 2018 masih relatif pada pertumbuhan ekonomi Babel," ujar dia.

Edhi menambahkan sektor pertambangan dan penggalian yang merupakan sektor penopang PDRB Babel tumbuh sebesar 4,37 persen dibandingkan triwulan I 2018 setelah terdapat penyesuaian ketentuan ekspor timah. Namun, pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian pada Triwulan II 2018 tersebut tidak setinggi peningkatan kinerja pada periode yang sama tahun lalu.

"Di samping itu, bulan puasa dan libur lebaran yang cukup panjang menyebabkan produksi barang tambang dan galian menurun di tengah adanya penurunan lifting migas yang cukup signifikan sehingga sektor pertambangan mengalami penurunan 3,67 persen pada Triwulan II 2018," ujar dia.

Menurut Edhi, pertumbuhan ekonomi Babel triwulan III dan IV di 2018 diperkirakan tumbuh membaik sejalan dengan optimisme realisasi anggaran proyek pemerintah, peningkatan ekspor timah, peningkatan ekspor antar daerah khususnya melalui peningkatan jumlah tamu wisatawan domestik serta peningkatan konsumsi dalam rangka hari raya keagamaan maupun event nasional/internasional.
"Bank Indonesia memprediksi sampai dengan akhir tahun, pertumbuhan ekonomi Babel diperkirakan akan berada pada kisaran 4,5 persen - 5,0 persen," ujar dia.

Reporter:  Servio Maranda (Kontributor)

Editor:  Ali Akhmad Noor Hidayat

Dampak Penambangan Timah Bagi Masyarakat Bangka Belitung


Dampak Penambangan Timah Bagi Masyarakat Bangka Belitung


Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan.

Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan.

Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.

Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk penambangan timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana, yang biasanya bermodalkan antara 10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan yang lebih kecil lagi, biasanya disebut Tambang Rakyat (TR).

TI sebenarnya dimodali oleh rakyat dan dikerjakan oleh rakyat juga. Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan.
Pada awalnya TI “dipelihara” oleh PT. Tambang Timah ketika perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung. TI sebetulnya muncul karena dulu PT.

Tambang Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri. Oleh karena itulah, kepada pengelola TI diberikan peralatan pendulangan mekanis yang sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang tidak terlalu rumit, cukup dengan ekskavator, pompa penyemprot air, dan menyiapkan tempat pendulangan pasir timah. 

Metodenya pun sederhana, tanah yang diambil dengan ekskavator kemudian ditempatkan di tempat pendulangan, dan kemudian dibersihkan dengan air. Lapisan tanah yang benar-benar berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut terbawa air, dan tersisa biasanya adalah batu dan pasir timah.
Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan (KP) PT.

Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang kebanyakan di luar KP PT. Tambang Timah.

Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Belinyu.

1. Lubang Tambang

Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

2. Air Asam Tambang
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

3. Tailing

Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.

Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.


Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!
Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. 

Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.

Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan sedikit demi sedikit timah.

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. 

Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. 

Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.

Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau Bangka cukup tinggi.

Penulis : Dori Jukandi
sumber : http://www.ubb.ac.id


Tolak Pabrik Peleburan (Smelter) Nikel di Baluran

Tolak Pabrik Peleburan (Smelter) Nikel di Baluran


Pada tanggal 12 Januari 2014, presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 mengenai kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah sebagai bentuk realisasi dari Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba). Undang-undang ini beresensi agar semua bahan baku mineral seperti emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batubara mengalami proses nilai tambah sebelum diekspor.

Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar. Diharapkan pembangunan smelter ini akan meningkatkan investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang ada saat ini masih terbatas.
Ditilik dari segi lingkungan, ada beberapa efek negatif di balik keberadaan smelter. 

Pertama,smelter membutuhkan banyak sekali pasokan listrik dan batubara sebagai bahan bakar proses pengolahan. Proses smelting pun pada akhirnya akan menghasilkan konsentrat mineral, serta produk limbah padat berupa batuan dan gas buang SO2. Saat menguap ke udara, maka senyawa SO2 dapat menyebabkan hujan asam yang jika turun ke tanah akan meningkatkan derajat keasaman tanah dan sumber air sehingga membahayakan kelangsungan hidup vegetasi dan satwa.

Salah satu contoh nyata dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh smelter adalah peristiwa yang terjadi di Norilsk, Rusia. Dulunya kota ini merupakan kompleks smelting logam berat terbesar di dunia. Dalam setahun lebih dari 4 juta ton cadmium, tembaga, timah, nikel, arsenik, selenium, dan zinc terlepas ke udara. Kadar tembaga dan nikel di udara melebihi ambang batas yang diperbolehkan, dan sebagai akibatnya dalam radius 48 km dari smelter, tidak ada satu pohon pun yang bertahan hidup.


Pada manusia dan satwa, semua jenis senyawa nikel juga dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, pneumonia, emphysema, hiperplasia, dan fibrosis. Selain itu, percobaan laboratorium membuktikan bahwa senyawa nikel dapat menembus dinding plasenta pada mamalia sehingga dapat mempengaruhi perkembangan embrio dengan risiko kematian dan malformasi. Pada eksperimen berbeda yang dilakukan dengan cara menyuntikkan senyawa nikel pada organ-organ tubuh tertentu pada hewan percobaan, didapati munculnya sel-sel kanker akibat mutasi yang dialami oleh jaringan tubuh.

Dampak Smelter Bagi Pertambangan di Indonesia


Dampak Smelter Bagi Pertambangan di Indonesia

Smelter (source: thepresidentpostindonesia.com)

Smelter merupakan fasilitas pengolahan hasil tambang yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan logam didalamnya seperti pada timah, nikel, emas, perak serta tembaga hingga mencapai tingkat yang baik untuk bahan baku produk. Proses peleburan atau smelting merupakan proses pelepasan oksigen pada bijih tambang sehingga menjadi unsur logam yang dapat digunakan bagi berbagai macam zat, seperti karbid, hidrogen, logam aktif atau dengan cara elektrolisis. 

Proses tersebut dimulai dari pembersihan mineral pada logam hingga tahap akhir yaitu pemurnian dan pencetakan. Pembangunan smelter bagi pertambangan telah diwajibkan bagi seluruh perusahaan pertambangan di Indonesia. Peraturan tersebut diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Pembangunan smelter berfungsi bagi perusahaan tambang yang akan mengekspor hasil tambangnya agar meningkatkan nilai jual barang tersebut. Dengan dibangunnya smelter maka hasil tambang yang akan diekspor bukan lagi hasil tambang mentah melainkan hasil tambang olahan yang akan meningkatkan harga jual tambang tersebut. 
Dengan meningkatnya harga jual tambang tersebut maka akan menaikkan nilai perekonomian di Indonesia. Selain itu dapat meningkatan investor baik dari dalam maupun luar negeri serta membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitarnya.

Proses Smelting (source : alatberat.com)

Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor hasil tambang mentah sejak tahun 2014 lalu. Namun pada penerapannya masih terdapat perusahaan tambang yang belum membangun smelter sehingga masih mengekspor hasil tambang mentah. Perusahaan yang tidak membangun smelter akan dikenakan denda berupa sanksi yang akan diberikan kepada perusahaan. 
Namun masih terdapat kendala bagi suatu perusahaan yang ingin membangun smelter beberapa diantaranya ialah pembebasan tanah yang tidak mudah, ketersediaan listrik di daerah pertambangan yang kurang memadai, kemudian perizinan yang tidak mudah hingga masalah biaya menjadi masalah utama dalam pembangunan smelter. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 yang diikuti dengan dua peraturan menteri juga ikut mendukung mengenai pembangunan smelter tersebut.
Sebenarnya peraturan mengenai pembangunan smelter telah memberikan keringanan selama 5 tahun setelah peraturan tersebut dikeluarkan hingga penerapannya yaitu peraturan dibuat pada tahun 2009 tetapi penerapannya baru diwajibkan pada tahun 2014. Selama jangka waktu tersebut pemerintah memberikan kelonggaran agar perusahaan-perusahaan tambang mempersiapkan syarat-syarat pembangunan smelter.
Dengan pembangunan smelter tidak hanya akan memberikan keuntungan bagi pemerintah Indonesia tetapi juga akan memberikan dampak bagi masyarakat disekitar tempat pengelolahan smelter tersebut. Maka dari itu saya mengharapkan agar perusahaan tambang di Indonesia agar sama-sama memberikan keuntungan yang lebih banyak selain bagi perusahaannya sendiri tetapi juga dapat memberikan keuntungan yang seimbang bagi pemerintah Indonesia khususnya pada pemasukan kas negara.

Sumber: www.qureta.com

Jumat, 18 Januari 2019

Ancaman Kerusakan Ekologi Akibat Pembangunan Smelter Freeport


Ancaman Kerusakan Ekologi Akibat Pembangunan Smelter Freeport

PT Freeport Indonesia berencana membangun pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Menanggapi itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menolak rencana pembangunan smelter, karena wilayah pulau Jawa merupakan daerah padat penduduk, sehingga daya rusak yang dapat ditimbulkan akan lebih terasa oleh masyarakat.

“Kita sudah tahu kalau Freeport akan membangun smelter di Gresik. Kerusakan lingkungan pasti akan dirasakan masyarakat disana,” kata Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.
Ony mengingatkan mengenai sejarah kebocoran perusahaan smelting yang pernah terjadi di Gresik, yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka dari warga sekitar.

“Belum lagi soal pembuangan tailing atau limbah yang akan merugikan nelayan yang ada di selat Madura, itu akan mencemari laut wilayah tangkapan nelayan,” ujarnya.

Industri tambang selama ini telah mendikte negara mulai dari hulu sampai hilir. Model pengurusan pertambangan dengan sistem keruk cepat dan jual murah sejak orde baru, terbukti mempercepat eksploitasi bahan tambang dan merusak ruang hidup warga. Tindakan ini kata Ony, akan mengulang cerita lama satu dekade lalu, saat pebisnis pertambangan berhasil mendikte Indonesia untuk membuka hampir satu juta hektar hutan lindungnya menjadi kawasan tambang.

“Kita harus melihat secara utuh krisis sosial-ekologi mulai hulu sampai hilir. Alih-alih menyejahterakan rakyat, nyatanya negara yang mensubsidi pebisnis tambang,” lanjutnya.

Sejak 5 tahun setelah berlakunya UU Minerba, pengurusan sektor hulu semakin amburadul. Luasan lahan dan tumpang tindih ijin tambang, dinilai semakin tidak terkontrol. Hingga 2011 sedikitnya 8.000 ijin dikeluarkan pemerintah dan 75 persennya tumpang tindih. Sedangkan pada 2013 lebih dari 11.000 ijin telah dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Data Walhi Jawa Timur menyebutkan pada 2013 terdapat 8 smelter di Jawa Timur, diantaranya smelter baja PT. Hanil Jaya Steel di Surabaya, smelter baja PT. Jatim Taman Steel di Sidoarjo, smelter baja PT. Bhirawa Steel di Gresik, smelter baja PT. Pangeran Karang Murni di Gresik, smelter feronikel Group Modern di Gresik, smelter feronikel PT. Multi Baja Industri di Tuban, smelterferonikel PT. Situbondo Metalindo di Situbondo, smelter nikel PT. Royal Nikel Nusantara di Lamongan.

Pemerintah lanjut Ony, kini mendorong pembukaan smelter di sektor hilir sebagai penerapan Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang berencana membangun lebih dari 150 smelter di seluruh Indonesia.

“Kenyataannya pemerintah telah menjadikan Indonesia sebagai pelayan bagi negara-negara industri, dengan menyediakan bahan mentah dan pasar raksasa bagi produk negara maju,” tukasnya.

Dukung Pembangunan Smelter
Gubernur Jatim Soekarwo menegaskan kepastian rencana pembangunan smelter di Gresik, sesuai pengumuman Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain di Gresik, di Papua juga akan dibangun smelter untuk mengolah hasil tambang PT. Freeport Indonesia.

Menurut Soekarwo, pertimbangan dibangunnya smelter di Gresik lebih pada persoalan efisiensi perusahaan, dimana produk sampingan dari smelter dapat langsung diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis.

“Kalau di Gresik, fospatnya bisa langsung dijual dan diproduksi sebagai bahan pembuat pupuk dan bahan semen,” katanya.

Soekarwo mengungkapkan bahwa pada tahun 2015 ini telah dilakukan penyiapan lahan beserta prasarana lainnya, yang dipastikan di sebuah kawasan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dia memastikan pembangunan smelter tidak akan mengganggu masyarakat, karena akan dibangun di lahan yang jauh dari warga.

“Lahannya bukan di lahan masyarakat, tapi di lahan reklamasi. Kalau reklamasi kita pasti cek dengan Amdalnya. Kalau di bagian depan sudah ada reklamasi untuk pelabuhan saja bisa, disebelah dalam mestinya juga bisa,” tandasnya.

Udang hasil tambak warga Gresik, Jatim, mati terkena limbah smelter. Foto : Petrus Riski
Sebelumnya, Gubernur Jatim bertemu dengan Direktur PT. Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto di Surabaya, Selasa (21/20/2014), yang membahas rencana Freeport membangun smelter di Gresik, Jawa Timur.

Pada kesempatan itu Soekarwo menegaskan mendukung pembangunan smelter di Gresik, dengan memberi jaminan kemudahan dalam mengurus perijinan yang ditargetkan 14 belas hari kerja. Smelter yang akan dibangun Freeport dengan luas lahan 80 hektar, rencananya berkapasitas produksi 1,8 juta ton konsentrat tembaga per tahun.

Dipilihnya Gresik sebagai tempat dibangunnya smelter karena di Gresik telah dilengkapi infrastruktur jalan dan pelabuhan, sehingga dapat memperlancar arus barang hasil pengolahan smelter untuk menekan ongkos angkut.

“Kalau mau bikin smelter di Papua, mungkin harus ada fasilitas yang menunjang. Termasuk pabrik pengolahan produk sampingan,” pungkas Soekarwo.

Sumber: mongabay.com

Kamis, 17 Januari 2019

Timah dan Potret Suram Bangka Belitung


Timah dan Potret Suram Bangka Belitung
Foto udara Lor In Hotel Belitung di Tanjung Tinggi, Belitung, Selasa (26/5). Kawasan wisata Putra Ciptawahana Sejati (PT Ranati) dengan luas sekitar 700 hektar itu akan menjadi kawasan pusat pariwisata baru yang ditunjang dengan berbagai fasilitas seperti akomodasi, kesehatan, kuliner dan hiburan di Belitung bagian barat. ANTARA FOTO/Andika Wahyu/Spt/15.
Oleh: Dea Anugrah - 11 Oktober 2016
Dibaca Normal 5 menit

Timah adalah segala-galanya untuk Bangka Belitung. Banyak warga yang menggantungkan nasibnya pada penambangan timah ini. Namun, penambangan rakyat kini sudah tersisihkan. Masyarakat diminta untuk beralih ke sektor lain sebagai mata pencahariannya.

Saat diminta merangkum segenap ajaran Buddha dalam satu kalimat, biksu Zen Suzuki Roshi menjawab hanya dengan dua kata: “Segalanya berubah.”

Enam tahun lalu, saban tengah malam di kota-kota kecil di Kepulauan Bangka Belitung, mobil-mobil bobrok yang tangkinya telah dipergembung berbaris di luar stasiun-stasiun pengisian bahan bakar. Menjelang siang mereka berpencar dan mulai mengangkut solar ke pelbagai tempat.

Bahan bakar diesel itu kemudian berpindah ke tambang-tambang timah kecil yang dikelola oleh rakyat kebanyakan. Maka, saat mobil-mobil butut itu tak lagi terlihat seperti sekarang, orang patut bertanya: apa yang terjadi pada tambang-tambang timah rakyat di kawasan tersebut?

Menurut sejumlah survei geologis tahun 2015, cadangan bijih timah terukur di Indonesia adalah yang terbanyak kedua di dunia, 800 ribu ton, dan pada 2014 hasil penambangannya setara 19,77 persen dari produksi global.

Pemilik cadangan dan penghasil timah terbesar saat ini, Cina, lebih banyak memanfaatkan hasil tambang itu untuk kebutuhan industri dalam negerinya. Maka, Indonesia yang berjualan timah batangan, timah patri atau solder, dan olahan dasar lainnya (misal: pelat dan pembuluh), kebagian peran penting di pasar dunia.

Timah Indonesia juga diyakini “tidak berlumuran darah”, berbeda dari produk Kongo dan negara-negara lain yang sedang dilanda perang. Jurnalis Cam Simpson, dalam laporannya yang diterbitkan Bloomberg pada 2012, mengutip pernyataan sebuah perusahaan penghasil patri: “Membeli timah indonesia adalah rute yang tepat menuju jaminan bebas konflik.”

Pengguna timah yang terbesar ialah pabrik alat-alat elektronik. Patri yang menghubungkan komponen-komponen dalam gawai dan komputer dan televisi dan pendingin udara hampir seutuhnya terbuat dari timah.

“Timah di ponsel bisa saja diganti dengan emas atau perak. Tapi, siapa yang mau membeli? Bisa juga diganti dengan timbel. Tapi, siapa yang mau memakai?” ujar Ir. Suranto Wibowo, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Bangka Belitung pada 29 September di kantornya. Saat bicara tentang timbel, ia menjauhkan ponsel dari wajahnya.

Lembaga yang dipimpin Suranto mencanangkan produksi timah sebesar 70 ribu ton dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) tahun ini, sedangkan produksi riil timah Indonesia pada 2013 dan 2014, menurut British Geological Survey, adalah 88,4 dan 70,2 ribu ton. Artinya, sebagian besar timah Indonesia berasal dari Provinsi Bangka Belitung.

Menurut Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Bachrul Chairi yang dikutip Kontan pada 19 September, Indonesia memasok 70 hingga 80 persen kebutuhan timah dunia.

Cadangan terukur relatif banyak, produksi tinggi, dan permintaan senantiasa pasang. Dengan demikian, absennya salah satu penanda utama pertambangan timah rakyat berarti kini penambangan memang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar belaka.

“Belakangan, pertambangan memang diatur secara lebih ketat,” kata Fandi Firmansyah, manajer pabrik peleburan (smelter) timah PT Tinindo Internusa pada 28 September 2016.

Berkebalikan dengan cerita yang ia sampaikan, cara bicara Fandi terkesan riang dan bahasa tubuhnya penuh warna. “Kamu tahu sendiri, sepuluh tahun lalu semua orang bisa gali sana, gali sini,” ujarnya sambil menciduk udara di kiri dan kanan tubuhnya, seperti dalam tarian pengiring lagu Potong Bebek Angsa.

Lalu mimiknya sekonyong-konyong jadi serius. “Tidak ada aturan, seperti wild, wild, west,” katanya.

Wild West atau Barat Liar adalah perumpamaan yang ciamik. Di Barat Liar, kita tahu, orang bukan hanya bisa cepat kaya dan petantang-petenteng memunggungi hukum yang loyo, tapi juga mati dengan gampang. Sepanjang 2011 kepolisian mencatat 41 orang, atau nyaris satu orang setiap pekan, mati di tambang timah, terutama karena tertimbun tanah longsor.

Aturan baru yang dimaksud Fandi ialah moratorium penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dan pemindahan wewenang pemberi izin tersebut. Seturut Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kuasa kabupaten untuk menerbitkan IUP telah diambil alih oleh provinsi (modal dalam negeri) dan pemerintah pusat (modal asing).

Menurut dia, meski penting, aturan bisa berbalik memicu masalah andai sumber penghasilan pengganti timah tak disiapkan dengan baik. “Dulu penambang ilegal kabur kalau ada penggerebekan,” katanya. “Sekarang, kalau TI (tambang inkonvensional/tambang rakyat) dibakar petugas, pemiliknya bisa balik mengamuk.”

“Saat krisis moneter pemerintah mungkin melakukan pembiaran. Ketimbang orang ribut, tidak bisa makan, lebih baik mereka cari timah walaupun banyak yang liar dan caranya serampangan. Tetapi situasi itu berlangsung kelewat lama. Sampai 2010, ada lebih dari 10 ribu tambang di provinsi ini,” kata Fandi. Ia mengucapkan kalimat terakhir sambil bergidik.

Fandi menyatakan pemerintah pusat terkejut saat mengetahui ada lebih dari tiga ribu IUP yang telah diterbitkan di Bangka Belitung sejak kawasan itu mekar jadi provinsi baru pada tahun 2000—padahal pendataan belum selesai. Kalau tambang yang sah saja sebanyak itu, berapa jumlah yang ilegal?

Simpson memperkirakan ada 15 hingga 50 ribu buruh yang bekerja dan hidup dari tambang-tambang timah di Bangka Belitung. “Satu tambang kecil dikelola oleh 3 hingga 5 pekerja,” tulisnya, “dan setiap hari masing-masing memperoleh sekitar 65 ribu rupiah saja.”

“Tapi kita tidak bisa bilang itu kebablasan,” ujar Suranto tentang penerbitan IUP oleh para bupati sebelum UU Nomor 23 tahun 2014 berlaku. “Itu sah, dan bagi mereka, 'kan, yang penting tambang-tambang itu menyumbang untuk pendapatan daerah,” katanya.

Namun, tentang sebab utama penyurutan aktivitas tambang rakyat, Fandi dan Suranto sepakat. Hambatan terbesar bagi para penambang kecil bukan peraturan, melainkan keberadaan bijih timah itu sendiri. Meski jumlahnya masih banyak, mineral itu kini tidak lagi berada di permukaan.

“Untuk mengupas top soil sampai kedalaman 25 meter itu perlu peralatan canggih dan biayanya bukan main,” ujar Fandi. Sedangkan tambang rakyat umumnya hanya dilengkapi peralatan sederhana. “Dengan satu mesin dan tiga pekerja, dengan modal 20 juta saja, orang sudah bisa membuka tambang,” kata Suranto.

Fandi dan Suranto memikirkan jalan keluar yang berlainan untuk situasi sulit itu. Di luar kedudukannya selaku pegawai perusahaan timah besar, Fandi mengaku berusaha mengajak orang-orang Bangka Belitung “kembali” menjadi petani sahang atau lada putih. Perkebunan lada pernah menjadi mata pencarian utama rakyat, katanya, dan terbukti dapat menghidupi.

Ia menunjukkan serangkaian hitung-hitungan sederhana untuk membuktikan bahwa lada bisa menjadi tulang punggung ekonomi yang lebih baik ketimbang timah. “Dari 1,2 triliun ekspor Bangka Belitung per bulan, sekitar 1 triliun-nya itu uang timah,” ujarnya.

Pernyataan itu sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS): 83,6 persen dari keseluruhan ekspor Provinsi Bangka Belitung pada Agustus 2016 adalah timah, dengan nilai (freight on board) 77,6 juta dolar Amerika Serikat atau 1,009 triliun rupiah.

“Kalau ada apa-apa dengan timah, provinsi ini pasti guncang,” ujar Fandi. Sudah saatnya Bangka Belitung mencari produk pokok yang dapat menggantikan timah dan, menurut Fandi, sahang adalah pilihan yang bagus.

Satu hektare kebun dapat menampung seribu pohon dan dalam kondisi baik, satu pohon bisa menghasilkan dua kilogram sahang setiap kali panen. Kini harga jual sahang (dari petani) sekitar 160 ribu per kilogram. Dan yang paling penting, rempah itu terbarui.

Tapi, ekspor sahang dan hasil pertanian lain dalam kategori "teh, kopi, dan rempah-rempah" Bangka Belitung pada Agustus 2016 hanya 96,3 miliar, kurang dari 10 persen nilai ekspor timah. Artinya, mempersiapkan sahang sebagai pengganti timah ialah kerja yang sangat berat.



Dalam dokumen Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2016, pemerintah Provinsi Bangka Belitung menetapkan ancar-ancar pengeluaran sebesar 50,2 miliar rupiah untuk urusan pertanian, perkebunan, dan peternakan—termasuk untuk pengembangan bibit, penyuluhan, dan lain-lain. Jumlah itu bahkan lebih kecil dibandingkan dengan anggaran untuk rumah sakit jiwa, 56 miliar, dan rumah sakit umum provinsi, 63,5 miliar.

Di sisi lain, Suranto secara spesifik membicarakan perbaikan di bidang pertambangan timah. Ia berpandangan penambang-penambang alit semestinya disokong dan dididik—untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja dan mengelola lahan bekas tambang secara benar, misalnya—oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Selain itu, ia berpendapat aturan-aturan yang memudahkan pertambangan rakyat juga perlu disusun.

Suranto mengaku sudah menyampaikan masukannya kepada pemerintah republik, juga ketika Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri berkunjung ke Bangka Belitung pada pertengahan 2015.

“Definisi tambang rakyat itu masih terlalu sempit,” ujarnya. “Misalnya ia menyatakan dalam tambang rakyat, mesin yang digunakan maksimum berkekuatan 25 tenaga kuda (horsepower/hp) saja. Itu 'kan, itu tidak tepat. Tambang timah, walaupun kecil, bisa saja pakai mesin 40 tenaga kuda, sebab mesin itu dipakai untuk menyemprot tanah dan mengisap lumpur sekaligus.”

Belum lagi soal pembagian wilayah di laut, antara TI apung dan kapal isap, yang juga mendesak minta ditangani. “Dan itu perkara rumit,” katanya setelah jeda sebentar. “Di laut, kepentingan tambang bisa bertabrakan dengan nelayan. Dan nelayan, 'kan, rakyat kita juga.”

Namun, kerumitan itu sama sekali tak tercermin dalam pernyataan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di situs resminya: “Tahun 2016, tema pembangunan adalah memantapkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, infrastruktur, dan pengelolaan lingkungan hidup.”

Sampai April lalu, menurut Bangka Pos, telah ada 173 ribu hektar kebun kelapa sawit di Bangka Belitung. Para pemilik potongan terbesarnya tentu bukan rakyat, melainkan, antara lain, Oriental Holdings (Malaysia), seluas 20 ribu hektar, atas nama PT. Bumi Sawit Sukses Pratama; Anglo-Eastern Plantations (Inggris), 8,7 ribu hektar, atas nama PT. Bangka Malindo Lestari; Kencana Agri Ltd. (Singapura), 6,7 ribu hektar, atas nama PT. Sawindo Kencana; dan lain-lain.

Dilihat dari sisi mana pun, jika cita-cita mulia “pengembangan ekonomi kerakyatan” dan “pengelolaan lingkungan hidup” ibarat buah-buah di tangkai pohon yang tinggi, pemberian izin perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari sepertiga Pulau Belitung itu tak ubahnya menjolokkan galah ke mata sendiri.

Menurut Siti Latifah dalam “Keragaan Pertumbuhan Acacia mangium pada Lahan Bekas Tambang Timah” (tesis pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2000), PT Timah telah berhasil melakukan revegetasi pada bekas tambang menggunakan tumbuhan perintis akasia dalam tempo enam tahun.

Lahan yang rusak akibat tambang-tambang timah bisa dihijaukan, kolong atau danau buatan yang telanjur jadi bisa dijadikan sumber air atau tambak. Tapi, bisakah perusahaan-perusahaan sawit dan para pendukungnya—termasuk pihak yang memberikan izin usaha perkebunan kepada mereka—membuktikan hal yang sama, menjanjikan hal yang lebih penting ketimbang apa pun kepada rakyat: bahwa tanah yang dilanda kelapa sawit takkan serta-merta berubah menjadi padang pasir buat selama-lamanya?


Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Sumber: tirto.id


Dipasangi Besi Jangkar, Polisi Gagal Tarik 5 Ponton TI Apung ke Darat


Dipasangi Besi Jangkar, Polisi Gagal Tarik 5 Ponton TI Apung ke Darat




Sebanyak dua ponton tambang inkonvensional (TI) apung diamankan Tim Gabungan Dit Polair Polda Bangka Belitung, Polres Bangka Selatan, Pos Pol Sadai dan Polsek Toboali, Selasa (15/1/2019).

Dua ponton TI apung tersebut diamankan saat penertiban TI ilegal, di perairan Kolong Laut, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Sedangkan lima ponton lainnya gagal ditarik dan diamankan tim gabungan.

Namun dalam operasi tersebut tim gabungan tidak mendapati pemilik dan penambang di atas ponton tersebut.

"Lima ponton yang gagal diamankan, dipasang besi semacam jangkar dan menancap di tanah. Jadi tidak bisa ditarik. Tapi tetap akan diupayakan ditarik semua ke Sadai," ujar Kabag Ops Polres Base, Kompol Irwan kepada BN, Rabu (16/1/2019).

Lebih lanjut dikatakan Kompol Irwan, pihaknya komitmen menindak tegas aktifitas TI apung di Kolong Laut, Toboali Bangka Selatan. Sebab tujuh ponton TI apung tersebut tidak mengantongi izin.
Ia menambahkan, saat ini tim gabungan terus memantau aktifitas penambangan ilegal di perairan Bangka Selatan. Namun, pasca penertiban kemarin aktifitas penambangan di perairan Kolong Laut Toboali, berhenti total.

"Akan kami tindak tegas. Dua unit ponton yang berhasil diamankan tersebut akan disita dan dimusnahkan. Hal ini untuk mengantisipasi kembalinya aktifitas TI apung di perairan Kolong Laut," tegasnya. (anthoni ramli).

Editor: Herru W
Sumber: BangkaPos.com

Senin, 14 Januari 2019

Tambang Timah Belinyu Telan Korban Lagi, Hampir 6 Jam Yanto Terkubur Hidup-hidup


Tambang Timah Belinyu Telan Korban Lagi, Hampir 6 Jam Yanto Terkubur Hidup-hidup

Tampak para pekerja menggunakan alat berat mencari jenazah korban, Yanto alias Anto (40). Kecelakaan kerja ini terjadi di tambang timah di Belinyu, Sabtu (15/12/2018)



Tambang timah di Kecamatan Belinyu  kembali menelan korban jiwa, Kali ini pekerja tewas bernama Yanto alias Anto (40), Warga Ciamis Jawa Barat.

Buruh harian itu terkubur hidup-hidup dalam lubang tambang saat tanah dari ketinggian longsor menimpanya.

Kapolres Bangka AKBP M Budi Ariyanto diwakili Kabag Ops Kompol S Sophian  kepada Bangka Pos, Minggu (16/12/2018) menyatakan, kasus ni sudah ditangani oleh pihak kepolisian.

"Kejadian terjadi pada Hari Sabtu Tanggal 15 Desember 2018 sekira Pukul 10.30 WIB. Kecelakaan kerja di lokasi tambang ini menyebabkan pekerja tambang meninggal dunia tertimbun longsoran tanah atas nama Yanto alias Anto (40),  asal Ciamis Jawa Barat," katanya.

Sementara itu, informasi yang berhasil dihimpun Bangka Pos menyebutkan, tambang ini milik pengusaha bernama Suwito Adi Santoso (47), karyawan swasta, Warga Jl Hos Cokro Aminoto RT 002 RW 006 Kelurahan Kutopanji Belinyu. 

Sedangkan lokasi tambang berada di Kawasan TB 16 Desa Ridingpanjang Belinyu, diduga tak mengantongi ijin karena masuk kawasan hutan produksi.

Kronologi kejadian menurut Sophian bermula saat korban sedang bekerja dalam posisi menyemprot tanah bersama rekan seprofesi yaitu, Andi (28) dan Revan (25), Warga Desa Gunung Muda Belinyu.
Tiba-tiba saat itu ada sebagian tanah longsor. Para pekerja lalu lari ke atas, kecuali korban.

"Korban berhenti di dataran tanah samping ponton dan sempat berkata kepada saksi bahwa tidak apa-apa longsornya kecil.

Tapi setelah itu, tanah tiba-tiba longsor kembali dan saat itu saksi melihat lubang camui tambang sudah rata dengan tanah. Sedangkan korban tidak terlihat lagi karena tertimbun tanah," jelas Sophian.
Pasca kejadian, dilakukan pencarian secara manual menggunakan cangkul oleh para pekerja dan penanggung-jawab tambang yang saat itu berada di lokasi tambang.

Karena kondisi tanah yang tinggi, pencarian terhadap korban menggunakan dua unit alat exavator, Setelah hampir enam jam terkubur dalam tanah, korban akhirnya berhasil ditemukan, Jasadnya langsung diangkat ke atas dan dibawa ke Rumah Sakit Eko Maulana Ali di Belinyu.

"Sekitar Pukul 16.00 WIB, korban berhasil ditemukan dan segera dibawa ke Rumah Sakit Eko Maulana Ali Belinyu," katanya. Sophian menyatakan, berdasarkan keterangan penanggung-jawab tambang yang mengaku telah berkoordinasi dengan pihak keluarga korban bahwa jenazah dimakamkan di Kelekak Taru Belinyu, malam itu juga.

Penulis: ferylaskari
Editor: Iwan Satriawan
Sumber : BangkaPos.com



Selasa, 08 Januari 2019

Dampak Buruk Pertambangan Timah Laut Di Bangka Belitung

Dampak Buruk Pertambangan Timah Laut Di khususkan di Bangka
sumber gambar : https://bit.ly/2FmhlPQ

Bangka Belitung merupakan Provinsi yang menjadi salah satu objek wisata bahari terbaik di Indonesia, Bangka Belitung memiliki banyak sekali pantai yang memiliki bebatuan granit, keindahan ekosistem bawah laut serta pulau-pulau kecil yang sangat menawan. Kini wilayah perairan khususnya di Bangka terancam akibat aktivitas penambangan Timah laut yang menggunakan kapal kapal hisap besar. Berikut apa saja dampak negatif akibat penambangan timah laut.
  • Rusaknya Ekosistem Laut
sumber gambar: https://bit.ly/2TDCGbG

Dengan Maraknya Penambangan timah besar-besaran bagi pengambang usaha baik perorang, kelompok atau pun perusahaan Swasta atau BUMN menyebabkan ekosistem khususnya laut Bangka menjadi buruk, sehingga menyebabkan sebagian pantai yang indah yang memiliki pasar putih bersih menjadi kotor, berlumpur, serta banyak ditemui lubang-lubang bekas galian timah ditinggal kan begitu saja oleh penambang. Serta ekosistem bawah laut menjadi buruk dan rusaknya terumbu karang sebagai tempat tinggalnya ikan-ikan. Sepanjang mata memandang yang kita lihat hanyalah kumpulan kapal-kapal hisap dan kapal keruk. Keberadaan kapal-kapal ini pun tidak jelas dari mana resmi atau tidaknya. 
  • Kurangnya Penghasilan Para Nelayan Setempat
sumber gambar : https://bit.ly/2LWD5Dj

Penambangan Timah Laut ini menghancurkan begitu banyak terumbu karang dan membunuh habitat disekitarnya. Akibatnya, ikan-ikan menjauh dari lautan Bangka, Hal ini dapat merugikan nelayan nelayan setempat yang bergantung ekonominya terhadap laut bangka, sehingga pendapatan nelayan menjadi berkurang, bahkan sebagian nelayan juga memilih berhenti mencari ikan.
  • Berkurangnya Minat Wisatawan Untuk Datang Ke Bangka
sumber gambar : https://bit.ly/2H3bPUV

Untuk sekarang ini Wisata Bahari dibangka belitung masih bisa kita dinikmati. Tapi semakin lama aktivitas penambangan timah laut ini di lakukan, akan menyisakan kenangan yang sangat pahit bagi masyarakat bangka, serta masyarakat yang bergantung ekonominya dengan berjualan di sekitar pantai, dikarenakan para wisatawan menjadi berkurang dan dampak ini juga pasti di rasakan oleh pemerintah Prov. Bangka Belitung.
  • Hilangnya Peninggalan Sejarah Di Laut Bangka
sumber gambar : https://bit.ly/2HacPqy

Dahulu Pulau Bangka maupun Belitung merupakan jalur Kapal-kapan besar dagang dari china dan melayu . Banyak sekali di temukan kapal karam di lautan ini dan bahkan banyak di temukan seperti emas, perhiasan, guci, mangkok, piring, dan masih banyak lagi. Dengan maraknya eksploitasi penambangan timah laut secara besar besaran mengakibatkan sisa sisa dari kerangka kapal menjadi susah untuk di temukan. 

Sebaiknya coba kita berkaca kenapa Provinsi Bali dapat menarik wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri dengan jumlah yang banyak setiap tahunnya. Hal ini dikarena kan pemerintah dan masyarakat setempat pintar untuk mengelolanya, bukan karena prov bali tidak menghasil timah seperti bangka belitung tapi pentingnya kesadaran masyarakat serta pemerintah setempat untuk menyadari hal seperti ini. Dengan banyaknya orang berwisata di Provinsi Bali pendapatan bagi Provinsi Bali menjadi meningkat dan masyarakat yang mengembangkan usaha UMKM juga mendapatkan rezeki dari para turis lokal mau luar untuk mencari oleh-oleh untuk di bawa pulang ke daerahnya atau negara nya masing-masing serta dapat menambah lapangan pekerjaan bagi warga setempat. Balik lagi ke Bangka Belitung, Keindahan pantai serta banyak sekali objek wisata yang terkenal  seperti Pantai Parai Tenggiri, Pulau Memperak, Pulau Ketawai, Pantai Tikus Emas, Pulau Lengkuas, pantai pasir padi dan bahkan wisata Religi dapat kita temui di bangka belitung seperti Masjid Jami Pangkalpinang, Vihara Dewi Kwan In, Goa Maria, Pagoda Puri Tri Agung Sungailiat, Masjid Kayu Desa Tua Tunu yang tidak kalah indahnya dengan Bali. Dengan banyaknya objek wisata di prov.bangka belitung sebaiknya dapat di tingkatkan oleh pemerintah setempat, dan bagaimana cara mengatasi serta mengurangi penambangan timah laut ini, serta aparat setempat melakukan razia terhadap kapal-kapal yang tidak memiliki izin resmi untuk mengambil timah di laut bangka. 

Dengan mengembangkan Pariwisata di Bangka maupun Belitung dapat meningkatkan daya tarik daerah luar untuk datang ke Negeri Serumpun Sebalai ini. Serta meningkatkan pariwisata bangka belitung dengan promosi melalui Wonderful Indonesia dikancah Internasional.


creator :Tryo

Dampak Buruk Penambangan Timah Darat Bagi Masyarakat Bangka Belitung

Dampak Buruk Penambangan Timah Darat Bagi Masyarakat Bangka Belitung

Bangka Belitung terkenal dengan penghasil timah terbesar di Indonesia dan kedua didunia, dengan harga timah yang tinggi masyarakat juga bergantung untuk mencari rezeki dalam pertambangan ini, semakin maraknya aktivitas menambangan timah ini penyebabkan banyak sekali kerugian. Pelaku usaha ini terdiri dari perorangan, perkelompok hingga perusahaan besar Swasta maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Berikut adalah dampak Buruk Penambangan Timah.
  • Terbentuknya Lubang Galian Tambang ( Kolong )


Banyak Sekali Kolong-kolong bekas penambangan timah yang tidak terkoordinasi dengan baik, dari yang ukuran 10 sampai 1000 kali lebih besar dari kolam biasa. Biasanya pelaku usaha meninggalkan lahan yang mereka kerjakan karena timah yang dihasilkan sudah berkurang. Kolong yang di tinggalkan oleh pemilik usaha akan menampung air dari limbah Timah yang memiliki sisa endapan logam yang tidak baik untuk masyarakat setempat, serta kolong akan di penuhi air hujan. Biasanya masyarakat memanfaatkan kolong ini untuk sarana mencuci, mandi, berenang , bahkan di konsumsi. Banyaknya yang tenggelam, serta longsornya galian tambang. kurangnya pengetahuan warga setempat terhadap bahaya yang di timbulkan dari bekas penambangan timah ini serta mineral asam dan logam yang terkandung pada air , air kolong ini juga dapat memicu tingginya penderita kanker apa bila di konsumsi oleh masyarakat setempat. Lubang bekas galian tambang timah yang menampung air hujan akan menjadi sarang nyamuk,oleh karena itu banyak masyarakat pulau bangka belitung mengidap penyakit demam berdarah, malaria, dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh nyamuk. 
  • Rusaknya Ekosistem Darat

Dengan maraknya penambangan timah ini menyebabkan ekosistem didarat menjadi rusak, dimulai dari bibir pantai hingga hutan bahkan penambangan timah ini pun banyak ditemui di belakang rumah warga setempat juga. Aktivitas ini menyebabkan sebagian dari luas hutan di bangka menjadi dataran pasir, sehingga membuat kayu jenis garu, meranti menjadi sangat langka. Jika dilihat sebelum atau ketika mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung di penuhi kawah dan lubang dimana-mana.
  • Kualitas Air Menjadi Kotor

Pencemaran aliran sungai yang menyebabkan kualitas air menjadi kotor dan mengalami pendangkalan sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan menyebabkan kekeringan serta krisis sumber air bersih yang merugikan masyarakat khususnya di Bangka.

Masih banyak sekali dampak buruk dari Penambangan Timah ini untuk masyarakat Bangka Belitung yang lainnya.Untuk mengurangi dampak buruk yang disebabkan oleh penambangan timah darat yang di jelaskan di atas, perlu kesadaran bagi Masyarkat serta Pemerintah untuk melakukan tindakan tegas dengan memberikan sanksi terhadap masyarakat atau pun perusahaan yang melakukan kegiatan tambang timah yang meninggalkan bekas galian timah sehingga banyak merugikan warga setempat serta wilayah masyarakat di Provinsi Bangka Belitung.dan juga bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan reklamasi bekas galian timah serta memperbaiki kembali lahan yang rusak seperti penanaman pohon kembali. Hal ini di beruntukkan untuk anak cucu kita di masa yang akan datang.


Creator : Zoel

Recent Post