Dampak Penambangan Timah Bagi Masyarakat Bangka Belitung
Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja
sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah
penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah
yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan.
Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini
masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya
adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan.
Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di
kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan
sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas
penambangan tandus karena tidak direklamasi.
Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal
di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk
penambangan timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana, yang
biasanya bermodalkan antara 10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan
yang lebih kecil lagi, biasanya disebut Tambang Rakyat (TR).
TI sebenarnya dimodali oleh rakyat dan dikerjakan oleh
rakyat juga. Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang
melanggar hukum karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan.
Pada awalnya TI “dipelihara” oleh PT. Tambang Timah ketika
perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka
Belitung. TI sebetulnya muncul karena dulu PT.
Tambang Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis
untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri. Oleh
karena itulah, kepada pengelola TI diberikan peralatan pendulangan mekanis yang
sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang tidak terlalu rumit, cukup dengan
ekskavator, pompa penyemprot air, dan menyiapkan tempat pendulangan pasir
timah.
Metodenya pun sederhana, tanah yang diambil dengan ekskavator kemudian
ditempatkan di tempat pendulangan, dan kemudian dibersihkan dengan air. Lapisan
tanah yang benar-benar berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut terbawa air,
dan tersisa biasanya adalah batu dan pasir timah.
Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal
kuasa penambangan (KP) PT.
Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke
tempat lain yang ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk
di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi
di luar KP PT. Tambang Timah sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi
ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang kebanyakan di luar KP PT.
Tambang Timah.
Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka
dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan
smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat
tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran
lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang
mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal
dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Belinyu.
1. Lubang Tambang
Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan
dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan
lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi
menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan
kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat
yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar.
Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau
akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut.
Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian
tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.
2. Air Asam Tambang
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi
menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang
sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah
dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada
era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya.
Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan
pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah
menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam
tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi
terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.
3. Tailing
Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah
yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik
pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam
berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau
timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup
logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat
menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.
Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak
berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI
juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi
tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya
reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan
kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun
secara suksesi alami.
Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!
Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan
pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan
keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di
Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan
yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang
kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan.
Pada
akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat
imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya
daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah
mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya
wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Namun,
bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang
dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar
sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah
dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.
Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi
penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya
kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya
TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari
lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat
limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga
tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa
paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan
sedikit demi sedikit timah.
Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja
sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah
penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah
yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan.
Penambangan
timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung,
termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung
Gunung Pelawan.
Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di
kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan
sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas
penambangan tandus karena tidak direklamasi.
Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah
kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat
di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang
menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur
perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau
Bangka cukup tinggi.
Penulis : Dori Jukandi
sumber : http://www.ubb.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar