Timah
Memakmurkan dan Menghancurkan Bangka-Belitung
Seorang pegawai PT Timah menunjukkan bola-bola timah olahan di Pangkal Pinang. (REUTERS/Beawiharta)
Barangkali Anda ingat film Laskar Pelangi yang memotret semangat anak-anak
Bangka Belitung. Industri penambangan timah yang menjadi latar film itu, pada
kenyataannya, menghancurkan pulau cantik tersebut.
Bagi Asbaru, nelayan di Simpang
Teritip, di Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, mempertahankan laut adalah
mempertahankan hidup.
Dia dan kawan-kawan sesama
nelayan sedang berjuang melawan Kapal Isap Produksi (KIP) yang digunakan untuk
menambang pasir timah dari laut. Pasalnya, untuk mengambil pasir timah, kapal
itu tak jarang menghancurkan karang dan kemudian pergi ketika timah habis,
meninggalkan perairan yang rusak tanpa ikan.
Cara kerja kapal penghisap bijih
timah yang berbentuk seperti pasir, tidak ramah lingkungan. Misalnya,dengan
memecah karang apabila pasir timah mengendap di sela karang, kata Asbaru
menjelaskan. Lumpur dari sisa aktifitas penambangan timah juga hanyut
kemana-mana.
“Waktu mengendap, lumpur ini akan
menutupi karang tempat ikan-ikan berkembang biak. Setelah ditutupi lumpur ini,
tidak ada biota laut yang bisa berkembang disana,” kata Asbaru.
Seluruh nelayan di Provinsi
Bangka Belitung kini semakin resah karena KIP timah terus bertambah. Sebabnya,
pemerintah daerah mengobral izin pertambangan tanpa memperhitungkan daya dukung
lingkungan dan membiarkan kerusakan terjadi di darat dan di laut.
“Kami ini bisa apa. Kami ini
rakyat kecil. Jelas kami sudah berupaya menolak kapal itu beroperasi, tetapi
semua sekarang ada di tangan bapak gubernur,” ujar Asbaru.
Tangkapan Berkurang
Juliadi, nelayan di Sungailiat,
Bangka tahun lalu berhasil mengusir sebuah kapal isap timah dari areal tangkap
ikan mereka. Pasalnya, kapal itu menghancurkan mata pencaharian nelayan ketika
masih beroperasi. Ratusan nelayan naik ke atas kapal timah dan memaksa operator
mematikan mesin.
Menurut Juliadi, tangkapan para
nelayan berkurang drastis sebelum mereka mengusir kapal isap timah tersebut.
Misalnya, hasil tangkapan udang nelayan tidak sampai 3 kilogram ketika kapal
isap beroperasi, kata Juliadi.
Kapal Isap Produksi timah di
Bangka-Belitung. (Foto:Walhi Babel)
“Nah, setelah kami berhasil
mengusirnya, di tahun ini saat musim udang, tangkapan nelayan bisa 40-50
kilogram. Udang itu harganya paling rendah delapan puluh ribu rupiah sekilo,”
ujar Juliadi.
Tapi perjuangan Juliadi belum
berakhir. Perusahaan timah terus mengiming-imingi nelayan di beberapa lokasi
untuk menerima kehadiran kapal hisap mereka dengan menawarkan uang ganti rugi.
“Mereka memecah-belah kami. Ada
sebagian nelayan di tempat lain yang diberi uang ganti rugi. Lalu mereka
sampaikan ke kawan-kawan disini. Ada juga organisasi nelayan yang dikatakan
setuju, tetapi ternyata organisasi itu dipimpin pengusaha tambang. Ini kan aneh,”
tambah Juliadi.
Buah Simalakama
Bangka Belitung bagai menerima
buah simalakama. Sejak lama, kepulauan ini menjadi penghasil timah terbaik di
dunia. Sepuluh negara, yaitu Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Korea
Selatan, Malaysia, China, Thailand, Jepang dan Singapura, menggantungkan
pasokan timah dari sana. Buah manis itu bertahun-tahun dinikmati dan membawa
nama Bangka-Belitung di peta dunia.
Namun dampak buruknya kini
terasa. Lingkungan rusak tak terkendali, baik oleh tambang resmi maupun ilegal.
Sebanyak tiga perempat dari wilayah Kepulauan Bangka-Belitung yang seluas 1,6
juta hektar, masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala besar dan
inkonvensional. Sisanya direbut oleh industri kehutanan dan baru sebagian kecil
untuk ruang hidup warganya.
Tambang di darat menghancurkan hutan,
sementara tambang di laut merusak ekosistem pesisir dan melenyapkan ikan.
Dampaknya dirasakan oleh 45.000 nelayan tradisional yang mengandalkan hidup
dari pesisir dan laut.
Provinsi Bangka-Belitung berada
di posisi tertinggi dalam soal kerusakan lahan yang mencapai 1,053 juta hektar
atau 62 persen dari luas daratannya. Industri ini juga sumber korupsi. Selama
10 tahun sejak 2004, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara
dari penambangan timah sebesar 68 triliun rupiah dari pajak, biaya reklamasi,
royalti, pajak ekspor dan penerimaan non pajak.
Tiga tahun lalu, perusahaan besar
seperti Apple dan Samsung bahkan pernah digugat karena menggunakan timah hasil
penambangan ilegal di Bangka Belitung. Keduanya berjanji melakukan evaluasi
terhadap pemasok timah, namun berakhir tanpa kejelasan.
Seorang penambang sedang
memisahkan pasr timah di sebuah tambang timah di Bangka (REUTERS/Beawiharta)
Potensi Ekonomi
Ratno Budi, Direktur Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung mencatat, industri tambang tidak
pernah taat pada ketentuan reklamasi lahan. Bekas tambang dibiarkan saja,
sementara pemerintah tidak tegas menindak.
“ Pemerintah lalai dalam hal ini,
selalu menunggu izin tambang berakhir. Kalau izin sudah berakhir tanpa
reklamasi, perusahaan tidak akan mau bertanggung jawab,” kata Ratno Budi.
Walhi merekomendasikan agar
provinsi ini tidak lagi bersandar pada tambang timah untuk menggerakkan
ekonomi, tetapi beralih ke industri perikanan dan pariwisata. Kedua sektor ini,
kata Ratno Budi, adalah industri berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan.
“Dalam satu-dua tahun ke depan
ini, pemerintah sudah harus memikirkan sektor penggerak ekonomi selain timah,
tidak di tambang lagi,” kata Ratno Budi. “Potensinya banyak. Wisata, perikanan
tangkap, pertanian lada. Lada putih kita itu salah satu komoditas andalan
ekspor ke Eropa.”
Bersama sejumlah lembaga swadaya
masyarakat, Walhi telah mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberlakukan
moratorium penambangan timah.
Walhi juga mendesak pemerintah
untuk melakukan audit lingkungan hidup dan meninjau kembali semua perizinan
tambang yang sudah diberikan. Pemerintah juga harus menegakkan aturan hukum dan
mewajibkan semua perusahaan tambang yang masih beroperasi untuk melakukan
reklamasi lahan bekas tambang di Bangka Belitung.